- Beranda
- Kabar Aktual
- Kabar Rakyat
- Politik
- Era Muslim
- Internasional
- Opini
- Tokoh
- Hasan Tiro
- Tgk Abdul Jalil Cot Plieng
- Daud Beureeueh
- Teuku Nyak Arief
- Abuya Muda Wali Al-Khalidy
- Teuku Umar
- Palinglima Polem
- Teuku Cik Ditiro
- Sunan Gresik dan Ampel
- Sunan Giri, Kalijaga Dan Sunan Muria
- Sunan Bonang, Gunung Jati, Kudus dan Sunan Drajat
- M.Yamin
- Buya Hamkia
- Soekarno
- W.R Supratman
- Ahmad Yani
- Wong Fei Hung
- Hasan Tiro
- TV Online
- Games
- Bukan Teladan
Buya Hamka
___Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka), dikukuhkan negara—melalui Pemerintah sebagai Pahlawan Nasional. Masyarakat Sumbar secara propinsial, dan Minangkabau secara kultural, tentu mengapresiasi penganugerahan gelar Pahlawan Nasional kepada Putra sulung Dr. Haji Abdul Karim Amrullah (Dr. Haka) tersebut. Soalnya, selain dijuluki ulama kharismatik dan substansialistik (faqihun wa al-hakimun),
Hamka juga dikenal sebagai sastrawan, budayawan, pujangga, dan
sejarawan. Tidak saja di Indonesia, nama besar dan pengaruh beliau
bahkan menjamah sampai ke Malaysia, Singapura dan Thailand. Dalam kancah
transformasi Islam, kiat-kiat yang dihidangkan beliau tidaklah
meledak-ledak—seperti segelintir pemuka agama (rijalu ad-da’wah) di alam kontemporer yang kian merangkak maju kini. Melainkan sarat informatif, persuasif, edukatif dan argumentatif (bi al-hikmah, wa al-maui’zhah wa al-mujadalah/QS. An-nahal ayat 125). Dan, bila tokoh yang lahir pada 17 Februari 1908 itu, menyuarakan dimensi dakwah berupa tanzhir
(khabar pertakut), tanpa tergelicik pada pola-pola eufemisme dibalutnya
dengan bahasa santun, sejuk, bersahabat, dan gampang dimengerti.
Selain aktif dalam ad-da’wahu bi al-lisan, Hamka tercatat sebagai pengarang gigih lagi produktif. Sejak menulis pada 1928 sampai menjelang ajal menjemput (1981), Hamka telah menelurkan tak kurang dari 118 judul buku. Dan, jumlah sebanyak itu, belum termasuk “sagarobak tulak tulisan panjang yang belum, dan patut dibukukan. Sebut saja Pandangan Hidup Muslim; Dari Hati ke Hati; Dakwah Islamiyah; dan banyak lagi yang lain Dan, yang membuat banyak orang berdecak-kagum, ketika Hamka mendekam di penjara semasa rezim Soekarno (1964-1969) dengan tuduhan melanggar Perpres Nomor 11 Tahun 1963, tokoh yang terbilang sukses menakhodai Majalah Panjimas (1936-1943) ini, justru berhasil secara spektakuler merampungkan 30 Juz karya monumentalnya: Tafsir Al Azhar. Tak jauh beda dengan buku-buku lain, Tafsir Al Azhar (diambil dari nama Universitas Al Azhar Mesir yang menobatkanya sebagai Doktor HC, 1959) diminati banyak orang. Mulai dari kalangan awam sampai elit, sepertinya bangga membaca dan mengepit Tafsir Al Azhar. Tak heran, buah tangan ulama otodidak tersebut, mengalami cetak ulang berpuluh-puluh kali.
“Selaku keluarga besar Hamka, kami amat bahagia, ternyata buku-buku ayah dicari bahkan diterbit ulang oleh masyarakat”. Begitu dilontarkan Ruysdi Hamka pada penulis di penghujung Mei 2008 lalu. Yaitu ketika memproses izin ahli waris ihwal penerbitan kembali buku: Antara Fakta dan Khayal “Tuanku Rao” (Hamka 1971) atas kerja sama Pemkab Pasaman dengan Penerbit Suara Muhammadiyah Yogyakarta (2008). Jangankan yang setali darah dengan Hamka, Sejarawan Taufik Abdullah (1979) saja, justru berselera mengutak-atik/meneliti seluruh karangan Hamka. Hasilnya? “Sejak mencacahkan kalam, di akhir 1927 bertajuk: “Si Sabariah” (cerita roman, huruf Arab, bahasa Minang, 1928) sampai pada konsep buku: Pandangan Hidup Muslim, Dari Hati ke Hati, dan Dakwah Islamiyah tadi (1979), Hamka menulis rata-rata 4 halaman buku—sekitar 10 alinea tiap hari”. Sebuah prestasi dan produktifitas memukau memang!
Bandingkan dengan tokoh-tokoh agama kita kini. Agak lancang mungkin! Mereka lebih banyak menangis di podium, ketimbang menulis—baik berupa buku maupun mencacahkan pena di mass media cetak (brosur, bulletin, majalah atau surat kabar). Tak percaya? Mari ditelusuri penelitian Unand, pada 1993: “Satu penerbit di Yogyakarta mampu membuahkan buku tak kurang dari 300—350 judul tiap tahun. Bandingkan dengan Sumbar yang hanya bisa menerbitkan buku tak lebih dari 10—15 judul tiap 12 bulan, dan itupun sudah dihitung dari seluruh penerbit yang ada”. Jangankan dengan Yogyakarta yang memang disebut kota budaya, kota pendidikan, dan kota industri otak (tak dipidatokan dengan mulut berbuih) dibanding dengan Provinsi Riau saja, lagi-lagi Sumbar keok setengah mati. Betapa tidak! Penerbit di sana mampu meluncurkan buku dalam pelbagai versi (agama, budaya, sastra, politik, ekonomi, pendidikan dan lainnya) ratusan judul tiap tahun, sedang Sumbar sekali lagi tak mencapai angka sebanyak itu.
Ibarat pacu kuda di Ampang Kualo Solok—kita telah tercecer 2 x 7 kelok/keliling. Kenapa? Meminjam istilah Sosiolog Dr. Muchtar Naim, dalam dunia tulis-menulis Minangkabau/Sumbar nyaris tinggal kerabang. Sedang telurnya (esensi, budaya dan semangat) telah menyeberang ke tanah Jawa, bahkan juga Sulawesi, Kalimantan dan lainnya. Padahal tempo doeloe, bukankah ulama dan cendikiawan Minangkabau/Sumbar yang proaktif menjalarkan ilmu plus kompetensinya—pada area-area tersebut! Antara lain lewat: “Majalah Al Munir” (1911); “Al Akhbar” (1913); dan “Al Ittifaq wal Iftiraq” (1913). Dua majalah yang berkantor di Surau Jembatan Besi Padang Panjang dan Aia Cama Padang ini, dibidani tokoh pembaharu Minangkabau: Dr. Abdullah Ahmad dan Dr. Haka!
Sampai akhir hayatnya, Hamka tercatat sebagai ulama pewaris Nabi. Sepanjang yang kita ketahui, ulama bersahaja ini—nyaris tak bercacat dan tak berlumut secara moral. Baik sisi seksualitas maupun memburu dan berburu meraup popularitas—dan apalagi berkerumuk-kerumuk dengan secarik kertas (baca: korupsi, manipulasi dan mengubah angka kwitansi). Dalam hal seksualitas saja misalnya, si pengagum Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh (dua ulama besar Timur Tengah yang menggelorakan pembaruan Islam, pada paruh abad ke-18) ini, tidak pernah tergelicik berpoligami. Tak sama, dan tak sebangun dengan tokoh-tokoh agama kita kini. Baru seujung kuku jadi ulama ngetop—terjebak poligami alias “buka cabang baru” atau “kawin batambuah”! Dan, yang membuat umat terhenyak-bengong, ada pula da’i “kawin batambuah” di hotel berbintang—tapi anehnya, tak pakai wali dan tak pakai saksi nikah—walau uang maharnya setinggi langit ke-7. Karena telah dikategorikan media sebagai publik figur—hampir sama dengan artis di dunia infotainment, di zaman komunikasi/informasi canggih dan “heboh” kini, mass media cetak dan elekronik pun membidik setiap langkah “sang pencandu” poligami ke mana pun ia bertandang. Muaranya? Berita, wajah tampan, gagah dan simpatik (?) si Buya kondang tadi pun terpampang “tiok cecah” di layar kaca/surat kabar. Dan, karena yang namanya ulama di alam paternalistik yang masih menggejala ini, diposisikan masyarakat sebagai panutan, dan atau tokoh identifikasi—tak ayal lagi umat/masyarakat, terutama yang berkategori jumhuru annas (awam)—seolah “bahondoh-poroh” mengikuti jejak (berpoligami) da’i kondang tadi. Runyam memang!
Dan, dirujuk lagi ke soal Hamka!! Sejak berpulangnya beliau, pada 24 Juli 1981—benarkah kita tengah mengidap kelangkaan ulama? Masih tersediakah ruang bagi rahim Minangkabau/Sumbar melahirkan zhu’amak dan ulama sekaliber Hamka—yang tak cuma punya “magnit” di podium (karena keteladanan yang diwariskannya dalam semua kisi kehidupan), tapi juga gigih menulis—yang nota-bene berorientasi pencerahan umat? Sebuah renungan plus tantangan bersama di momentum Peringatan Hari Pahlawan, 10 November 2011! Wallahu a’lam biss shawab.
Sumber : http://elsaelsi.wordpress.com
Selain aktif dalam ad-da’wahu bi al-lisan, Hamka tercatat sebagai pengarang gigih lagi produktif. Sejak menulis pada 1928 sampai menjelang ajal menjemput (1981), Hamka telah menelurkan tak kurang dari 118 judul buku. Dan, jumlah sebanyak itu, belum termasuk “sagarobak tulak tulisan panjang yang belum, dan patut dibukukan. Sebut saja Pandangan Hidup Muslim; Dari Hati ke Hati; Dakwah Islamiyah; dan banyak lagi yang lain Dan, yang membuat banyak orang berdecak-kagum, ketika Hamka mendekam di penjara semasa rezim Soekarno (1964-1969) dengan tuduhan melanggar Perpres Nomor 11 Tahun 1963, tokoh yang terbilang sukses menakhodai Majalah Panjimas (1936-1943) ini, justru berhasil secara spektakuler merampungkan 30 Juz karya monumentalnya: Tafsir Al Azhar. Tak jauh beda dengan buku-buku lain, Tafsir Al Azhar (diambil dari nama Universitas Al Azhar Mesir yang menobatkanya sebagai Doktor HC, 1959) diminati banyak orang. Mulai dari kalangan awam sampai elit, sepertinya bangga membaca dan mengepit Tafsir Al Azhar. Tak heran, buah tangan ulama otodidak tersebut, mengalami cetak ulang berpuluh-puluh kali.
“Selaku keluarga besar Hamka, kami amat bahagia, ternyata buku-buku ayah dicari bahkan diterbit ulang oleh masyarakat”. Begitu dilontarkan Ruysdi Hamka pada penulis di penghujung Mei 2008 lalu. Yaitu ketika memproses izin ahli waris ihwal penerbitan kembali buku: Antara Fakta dan Khayal “Tuanku Rao” (Hamka 1971) atas kerja sama Pemkab Pasaman dengan Penerbit Suara Muhammadiyah Yogyakarta (2008). Jangankan yang setali darah dengan Hamka, Sejarawan Taufik Abdullah (1979) saja, justru berselera mengutak-atik/meneliti seluruh karangan Hamka. Hasilnya? “Sejak mencacahkan kalam, di akhir 1927 bertajuk: “Si Sabariah” (cerita roman, huruf Arab, bahasa Minang, 1928) sampai pada konsep buku: Pandangan Hidup Muslim, Dari Hati ke Hati, dan Dakwah Islamiyah tadi (1979), Hamka menulis rata-rata 4 halaman buku—sekitar 10 alinea tiap hari”. Sebuah prestasi dan produktifitas memukau memang!
Bandingkan dengan tokoh-tokoh agama kita kini. Agak lancang mungkin! Mereka lebih banyak menangis di podium, ketimbang menulis—baik berupa buku maupun mencacahkan pena di mass media cetak (brosur, bulletin, majalah atau surat kabar). Tak percaya? Mari ditelusuri penelitian Unand, pada 1993: “Satu penerbit di Yogyakarta mampu membuahkan buku tak kurang dari 300—350 judul tiap tahun. Bandingkan dengan Sumbar yang hanya bisa menerbitkan buku tak lebih dari 10—15 judul tiap 12 bulan, dan itupun sudah dihitung dari seluruh penerbit yang ada”. Jangankan dengan Yogyakarta yang memang disebut kota budaya, kota pendidikan, dan kota industri otak (tak dipidatokan dengan mulut berbuih) dibanding dengan Provinsi Riau saja, lagi-lagi Sumbar keok setengah mati. Betapa tidak! Penerbit di sana mampu meluncurkan buku dalam pelbagai versi (agama, budaya, sastra, politik, ekonomi, pendidikan dan lainnya) ratusan judul tiap tahun, sedang Sumbar sekali lagi tak mencapai angka sebanyak itu.
Ibarat pacu kuda di Ampang Kualo Solok—kita telah tercecer 2 x 7 kelok/keliling. Kenapa? Meminjam istilah Sosiolog Dr. Muchtar Naim, dalam dunia tulis-menulis Minangkabau/Sumbar nyaris tinggal kerabang. Sedang telurnya (esensi, budaya dan semangat) telah menyeberang ke tanah Jawa, bahkan juga Sulawesi, Kalimantan dan lainnya. Padahal tempo doeloe, bukankah ulama dan cendikiawan Minangkabau/Sumbar yang proaktif menjalarkan ilmu plus kompetensinya—pada area-area tersebut! Antara lain lewat: “Majalah Al Munir” (1911); “Al Akhbar” (1913); dan “Al Ittifaq wal Iftiraq” (1913). Dua majalah yang berkantor di Surau Jembatan Besi Padang Panjang dan Aia Cama Padang ini, dibidani tokoh pembaharu Minangkabau: Dr. Abdullah Ahmad dan Dr. Haka!
Sampai akhir hayatnya, Hamka tercatat sebagai ulama pewaris Nabi. Sepanjang yang kita ketahui, ulama bersahaja ini—nyaris tak bercacat dan tak berlumut secara moral. Baik sisi seksualitas maupun memburu dan berburu meraup popularitas—dan apalagi berkerumuk-kerumuk dengan secarik kertas (baca: korupsi, manipulasi dan mengubah angka kwitansi). Dalam hal seksualitas saja misalnya, si pengagum Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh (dua ulama besar Timur Tengah yang menggelorakan pembaruan Islam, pada paruh abad ke-18) ini, tidak pernah tergelicik berpoligami. Tak sama, dan tak sebangun dengan tokoh-tokoh agama kita kini. Baru seujung kuku jadi ulama ngetop—terjebak poligami alias “buka cabang baru” atau “kawin batambuah”! Dan, yang membuat umat terhenyak-bengong, ada pula da’i “kawin batambuah” di hotel berbintang—tapi anehnya, tak pakai wali dan tak pakai saksi nikah—walau uang maharnya setinggi langit ke-7. Karena telah dikategorikan media sebagai publik figur—hampir sama dengan artis di dunia infotainment, di zaman komunikasi/informasi canggih dan “heboh” kini, mass media cetak dan elekronik pun membidik setiap langkah “sang pencandu” poligami ke mana pun ia bertandang. Muaranya? Berita, wajah tampan, gagah dan simpatik (?) si Buya kondang tadi pun terpampang “tiok cecah” di layar kaca/surat kabar. Dan, karena yang namanya ulama di alam paternalistik yang masih menggejala ini, diposisikan masyarakat sebagai panutan, dan atau tokoh identifikasi—tak ayal lagi umat/masyarakat, terutama yang berkategori jumhuru annas (awam)—seolah “bahondoh-poroh” mengikuti jejak (berpoligami) da’i kondang tadi. Runyam memang!
Dan, dirujuk lagi ke soal Hamka!! Sejak berpulangnya beliau, pada 24 Juli 1981—benarkah kita tengah mengidap kelangkaan ulama? Masih tersediakah ruang bagi rahim Minangkabau/Sumbar melahirkan zhu’amak dan ulama sekaliber Hamka—yang tak cuma punya “magnit” di podium (karena keteladanan yang diwariskannya dalam semua kisi kehidupan), tapi juga gigih menulis—yang nota-bene berorientasi pencerahan umat? Sebuah renungan plus tantangan bersama di momentum Peringatan Hari Pahlawan, 10 November 2011! Wallahu a’lam biss shawab.
Sumber : http://elsaelsi.wordpress.com