- Beranda
- Kabar Aktual
- Kabar Rakyat
- Politik
- Era Muslim
- Internasional
- Opini
- Tokoh
- Hasan Tiro
- Tgk Abdul Jalil Cot Plieng
- Daud Beureeueh
- Teuku Nyak Arief
- Abuya Muda Wali Al-Khalidy
- Teuku Umar
- Palinglima Polem
- Teuku Cik Ditiro
- Sunan Gresik dan Ampel
- Sunan Giri, Kalijaga Dan Sunan Muria
- Sunan Bonang, Gunung Jati, Kudus dan Sunan Drajat
- M.Yamin
- Buya Hamkia
- Soekarno
- W.R Supratman
- Ahmad Yani
- Wong Fei Hung
- Hasan Tiro
- TV Online
- Games
- Bukan Teladan
Sejarah Gerakan Theosofi di Indonesia: Persentuhannya Dengan Elit Modern Indonesia
_
Kongres Pemuda Indonesia Pertama 1926 diselenggarakan di loge milik Freemason di Batavia. Diduga ada keterlibatan Theosofische Vereniging (Organisasi Theosofi) dan Vrijmetselarij (Freemason). Kongres pertama mendorong lahirnya Kongres Pemuda Indonesia 1928, yang kemudian melahirkan Sumpah Pemuda.
Oleh: Artawijaya
Penulis buku "Gerakan Theosofi di Indonesia"
Gerakan Theosofi adalah "bapak angkat" kaum intelektual Indonesia pada masa lalu, yang kemudian melahirkan elit-elit modern sebagai founding father negeri ini. Anehnya, pembahasan mengenai kiprah secara detil Gerakan Theosofi di Indonesia minim dituliskan dalam buku-buku sejarah di sekolah. Padahal, organisasi ini begitu besar peranannya dalam gerak nasionalisme di negeri ini dan persentuhannya dengan elit-elit modern Indonesia. Karena coraknya yang netral agama, maka Theosofi berhasil membentuk kader-kader sekular, yang dikemudian hari berperan penting dalam perjalanan sejarah bangsa ini.
Secara ringkas bisa dipetakan, elit-elit modern Indonesia yang terjerat masuk sebagai anggota Gerakan Theosofi atau terpengaruh dengan ajaran-ajaran Teosofi, umumnya adalah para aktivis dari organisasi-organisasi bercorak kebatinan, kedaerahan, kebangsaan, dan netral agama alias sekular, seperti Tri Koro Dharmo, Jong Java, Jong Sumatrenan Bond, Boedi Oetomo, Taman Siswa, Persatoen Goeroe Hindia Belanda (PGHB), dan lain-lain. Kebanyakan dari mereka juga umumnya adalah alumnus Sekolah Pendidikan Dokter Hindia (School tot Opleiding van Indische Artsen/STOVIA), Sekolah Pamong Pradja (Opleiding School voor Inlandsche Ambtenaren/OSVIA), Sekolah Hukum (Rechtschool) dan pernah mendapat beasiswa di negeri Belanda, tempat berkembang suburnya organisasi Theosofi dan Freemason pada masa itu.
Salah satu elit modern Indonesia yang dikenal menjadi anggota Theosofi adalah Mohammad Tabrani Soerjowitjitro. Pria kelahiran Pamekasan, Madura, 10 Oktober 1904 ini adalah alumnus Sekolah Pamong Pradja (OSVIA) yang kemudian mendapat beasiswa dari perkumpulan yang dibentuk oleh Theosofi, Dianeren van Indie. Selain sebagai aktivis Jong Java (Perhimpunan Pemuda Jawa), Tabrani juga dikenal sebagai Ketua Jong Theosofen (Pemuda Theosofi). Kiprahnya di dunia pers juga menobatkan dirinya sebagai salah satu tokoh pers Indonesia.
Kiprah menonjol dari Mohammad Tabrani sebagai anggota Theosofi dan Jong Java adalah ketika menggagas Kongres Pemuda Indonesia pertama pada 30 Mei-20 April 1926 di Batavia dan Kongres Pemuda Kedua pada 1928 yang kemudian menghasilkan Sumpah Pemuda. Sebelum kongres pemuda berlangsung, pada 15 November 1925, Tabrani mengumpulkan para pemuda dari beragam latar organisasi di Gedung Lux Orientis, Batavia untuk merumuskan format kongres yang akan diadakan.
Sejarawan Ridwan Saidi dan peneliti gerakan Yahudi Allahyarham A.D El-Marzededeq menyebut ada keterlibatan organisasi Theosofi dan Vrijmetselarij (Freemason) dalam kongres yang akan berlangsung tersebut. Maklum, Tabrani sebagai penggagas adalah aktivis Theosofi dan Dienaren van Indie. Sedangkan peserta lain yang berasal dari Jong Sumatrenan, Jong Java, Sekar Roekoen, Jong Batak, dan lain-lain kebanyakan dari mereka juga penganut Theosofi.
Dugaan keterlibatan Theosofi dan Vrijmeteselarij dalam kongres itu makin menguat, ketika kongres pertama pada tahun 1926 tersebut diadakan di Loge de Ster in het Oosten (Loge Bintang Timur) yang terletak di kawasan Weltevreden, Batavia atau Jalan Boedi Oetomo, Jakarta Pusat saat ini. Loge de Ster in het Oosten adalah loge terbesar milik kelompok Freemason selain Loge de Vriendschap di Batavia dan Loge La Constante et Fidale di Semarang. Loge de Ster in het Oosten pernah dijadikan tempat berkumpulnya ratusan anggota Boedi Oetomo untuk mendengarkan ceramah umum (openbare) tokoh Theosofi, Dirk van Hinloopen Labberton, pada waktu itu. Pada 16 Januari 1909, Labberton pernah memberikan ceramah di loge ini dengan tema "Theosofie in verband met Boedi Oetomo" (Theosofi dalam Kaitannya dengan Boedi Oetomo).
Mengapa Kongres Pemuda Pertama tahun 1926 dilakukan di loge Freemason, loge yang menurut sejarawan Onghokham pada masa lalu disebut sebagai "Gedong Setan" karena kaum Freemason sering mengadakan ritual setan di gedung tersebut? Apakah ada agenda tertentu di balik penyelenggaran kongres tersebut, terkait dengan upaya Theosofi-Freemason mempengaruhi elit nasional negeri ini? Mengapa pula gagasan kongres tersebut berasal dari Tabrani yang aktif dalam Jong Theosofen (Pemuda Theosofi)?
Risalah "Laporan Kongres Pemuda Pertama Indonesia di Weltevreden 1926" yang dieditori oleh sejarawan Abdurrachman Surjomihardjo dan diberi kata pengantar oleh Mohammad Tabrani menuliskan ada tiga hal yang menjadi fokus pembahasan kongres pertama tersebut, yaitu: Kesatuan, Kedudukan Wanita, dan Agama. Bahder Djohan, anggota Jong Sumatrenan Bond yang juga terpengaruh paham Theosofi menyampaikan makalah "Kedudukan Wanita dalam Masyarakat Indonesia." Makalah tersebut dibacakan oleh Djamaluddin Adinegoro, tokoh pers nasional yang juga anggota Dienaren van Indie. Selain mereka, anggota Theosofi yang terlibat dalam kongres pertama adalah Sanusi Pane.
Setelah kongres pertama, Kongres Pemuda Indonesia kedua berlangsung pada 28 Oktober 1928. Peristiwa ini dikenal sebagai Hari Lahirnya Sumpah Pemuda, dimana semua pemuda nasional berkumpul dan berikrar tentang persatuan dan kesatuan. Kongres ini menghasilkan asas yang dipakai dalam perkumpulan kebangsaan, yaitu: Asas kemauan, sejarah, bahasa, hukum adat, pendidikan dan kepanduan. Semua asas tersebut bercorak sekularisme dan humanisme. Sebagaimana kongres pertama, tokoh-tokoh yang hadir pada kongres kedua tahun 1928 juga banyak yang terpengaruh oleh paham Theosofi, seperti Amir Syarifuddin, Siti Soendari, Mohammad Yamin, J. Leimena, Ki Sarmidi Mangoensarkoro, Ki Hadjar Dewantara, dan lain-lain. (bersambung)
Edisi Ke-4
Sumber:
http://www.eramuslim.com/berita/laporan-khusus/sejarah-gerakan-theosofi-di-indonesia-persentuhannya-dengan-elit-modern-indonesia-4.htm
Kongres Pemuda Indonesia Pertama 1926 diselenggarakan di loge milik Freemason di Batavia. Diduga ada keterlibatan Theosofische Vereniging (Organisasi Theosofi) dan Vrijmetselarij (Freemason). Kongres pertama mendorong lahirnya Kongres Pemuda Indonesia 1928, yang kemudian melahirkan Sumpah Pemuda.
Oleh: Artawijaya
Penulis buku "Gerakan Theosofi di Indonesia"
Gerakan Theosofi adalah "bapak angkat" kaum intelektual Indonesia pada masa lalu, yang kemudian melahirkan elit-elit modern sebagai founding father negeri ini. Anehnya, pembahasan mengenai kiprah secara detil Gerakan Theosofi di Indonesia minim dituliskan dalam buku-buku sejarah di sekolah. Padahal, organisasi ini begitu besar peranannya dalam gerak nasionalisme di negeri ini dan persentuhannya dengan elit-elit modern Indonesia. Karena coraknya yang netral agama, maka Theosofi berhasil membentuk kader-kader sekular, yang dikemudian hari berperan penting dalam perjalanan sejarah bangsa ini.
Secara ringkas bisa dipetakan, elit-elit modern Indonesia yang terjerat masuk sebagai anggota Gerakan Theosofi atau terpengaruh dengan ajaran-ajaran Teosofi, umumnya adalah para aktivis dari organisasi-organisasi bercorak kebatinan, kedaerahan, kebangsaan, dan netral agama alias sekular, seperti Tri Koro Dharmo, Jong Java, Jong Sumatrenan Bond, Boedi Oetomo, Taman Siswa, Persatoen Goeroe Hindia Belanda (PGHB), dan lain-lain. Kebanyakan dari mereka juga umumnya adalah alumnus Sekolah Pendidikan Dokter Hindia (School tot Opleiding van Indische Artsen/STOVIA), Sekolah Pamong Pradja (Opleiding School voor Inlandsche Ambtenaren/OSVIA), Sekolah Hukum (Rechtschool) dan pernah mendapat beasiswa di negeri Belanda, tempat berkembang suburnya organisasi Theosofi dan Freemason pada masa itu.
Salah satu elit modern Indonesia yang dikenal menjadi anggota Theosofi adalah Mohammad Tabrani Soerjowitjitro. Pria kelahiran Pamekasan, Madura, 10 Oktober 1904 ini adalah alumnus Sekolah Pamong Pradja (OSVIA) yang kemudian mendapat beasiswa dari perkumpulan yang dibentuk oleh Theosofi, Dianeren van Indie. Selain sebagai aktivis Jong Java (Perhimpunan Pemuda Jawa), Tabrani juga dikenal sebagai Ketua Jong Theosofen (Pemuda Theosofi). Kiprahnya di dunia pers juga menobatkan dirinya sebagai salah satu tokoh pers Indonesia.
Kiprah menonjol dari Mohammad Tabrani sebagai anggota Theosofi dan Jong Java adalah ketika menggagas Kongres Pemuda Indonesia pertama pada 30 Mei-20 April 1926 di Batavia dan Kongres Pemuda Kedua pada 1928 yang kemudian menghasilkan Sumpah Pemuda. Sebelum kongres pemuda berlangsung, pada 15 November 1925, Tabrani mengumpulkan para pemuda dari beragam latar organisasi di Gedung Lux Orientis, Batavia untuk merumuskan format kongres yang akan diadakan.
Sejarawan Ridwan Saidi dan peneliti gerakan Yahudi Allahyarham A.D El-Marzededeq menyebut ada keterlibatan organisasi Theosofi dan Vrijmetselarij (Freemason) dalam kongres yang akan berlangsung tersebut. Maklum, Tabrani sebagai penggagas adalah aktivis Theosofi dan Dienaren van Indie. Sedangkan peserta lain yang berasal dari Jong Sumatrenan, Jong Java, Sekar Roekoen, Jong Batak, dan lain-lain kebanyakan dari mereka juga penganut Theosofi.
Dugaan keterlibatan Theosofi dan Vrijmeteselarij dalam kongres itu makin menguat, ketika kongres pertama pada tahun 1926 tersebut diadakan di Loge de Ster in het Oosten (Loge Bintang Timur) yang terletak di kawasan Weltevreden, Batavia atau Jalan Boedi Oetomo, Jakarta Pusat saat ini. Loge de Ster in het Oosten adalah loge terbesar milik kelompok Freemason selain Loge de Vriendschap di Batavia dan Loge La Constante et Fidale di Semarang. Loge de Ster in het Oosten pernah dijadikan tempat berkumpulnya ratusan anggota Boedi Oetomo untuk mendengarkan ceramah umum (openbare) tokoh Theosofi, Dirk van Hinloopen Labberton, pada waktu itu. Pada 16 Januari 1909, Labberton pernah memberikan ceramah di loge ini dengan tema "Theosofie in verband met Boedi Oetomo" (Theosofi dalam Kaitannya dengan Boedi Oetomo).
Mengapa Kongres Pemuda Pertama tahun 1926 dilakukan di loge Freemason, loge yang menurut sejarawan Onghokham pada masa lalu disebut sebagai "Gedong Setan" karena kaum Freemason sering mengadakan ritual setan di gedung tersebut? Apakah ada agenda tertentu di balik penyelenggaran kongres tersebut, terkait dengan upaya Theosofi-Freemason mempengaruhi elit nasional negeri ini? Mengapa pula gagasan kongres tersebut berasal dari Tabrani yang aktif dalam Jong Theosofen (Pemuda Theosofi)?
Risalah "Laporan Kongres Pemuda Pertama Indonesia di Weltevreden 1926" yang dieditori oleh sejarawan Abdurrachman Surjomihardjo dan diberi kata pengantar oleh Mohammad Tabrani menuliskan ada tiga hal yang menjadi fokus pembahasan kongres pertama tersebut, yaitu: Kesatuan, Kedudukan Wanita, dan Agama. Bahder Djohan, anggota Jong Sumatrenan Bond yang juga terpengaruh paham Theosofi menyampaikan makalah "Kedudukan Wanita dalam Masyarakat Indonesia." Makalah tersebut dibacakan oleh Djamaluddin Adinegoro, tokoh pers nasional yang juga anggota Dienaren van Indie. Selain mereka, anggota Theosofi yang terlibat dalam kongres pertama adalah Sanusi Pane.
Setelah kongres pertama, Kongres Pemuda Indonesia kedua berlangsung pada 28 Oktober 1928. Peristiwa ini dikenal sebagai Hari Lahirnya Sumpah Pemuda, dimana semua pemuda nasional berkumpul dan berikrar tentang persatuan dan kesatuan. Kongres ini menghasilkan asas yang dipakai dalam perkumpulan kebangsaan, yaitu: Asas kemauan, sejarah, bahasa, hukum adat, pendidikan dan kepanduan. Semua asas tersebut bercorak sekularisme dan humanisme. Sebagaimana kongres pertama, tokoh-tokoh yang hadir pada kongres kedua tahun 1928 juga banyak yang terpengaruh oleh paham Theosofi, seperti Amir Syarifuddin, Siti Soendari, Mohammad Yamin, J. Leimena, Ki Sarmidi Mangoensarkoro, Ki Hadjar Dewantara, dan lain-lain. (bersambung)
Edisi Ke-4
Sumber:
http://www.eramuslim.com/berita/laporan-khusus/sejarah-gerakan-theosofi-di-indonesia-persentuhannya-dengan-elit-modern-indonesia-4.htm